PERBEDAAN PENGELOLAAN SAMPAH INDONESIA VS JEPANG

23 04 2014 08:39:48 | 25729 Kali
PERBEDAAN PENGELOLAAN SAMPAH INDONESIA VS JEPANG

Jika pernah mengunjungi Kuala Lumpur, pasti kita terkesan dengan pedagang kaki lima yang sangat bersih dan tertib dalam mengelola sampahnya. Tidak terkesan jorok namun serba rapi. Coba kita bandingkan dengan di Makassar. Kota Makassar dulu pernah dikenal sebagai kota dengan pedagang kaki lima terpanjang di seluruh dunia, sepanjang Pantai Losari. Sayangnya, sampah dan kesemerawutan juga berjalan seiring. Tidak bisa menutup mata, sampah dan kecoak pun bertebaran di pagi dan siang hari mengganggu pemandangan.

 

Akhirnya, diambillah solusi. Pantai direklamasi. Lokasi penjualan—dengan alasan demi ketertiban dan juga kesehatan lingkungan—dipindahkan di lokasi yangkurang strategis. Padahal, pernah dilakukan protes dari pedagang setempat dan juga demo-demo yang menghabiskan energi maupun tenaga. Apa hasilnya sekarang? Pedagang makanan dipindahkan di tempat yang tersembunyi sehinggakurang didatangi konsumen. Makassar kehilangan kekhasannya dengan julukan kota kaki lima terpanjang di seluruh dunia. Sekali lagi, tak kurang-kurangnya aparat pemerintahan Makassar pergi ke Malaysia untuk melakukan studi banding. Tetapi,keunikan kota Makassar yang dulu pernah ada, hilang ditiup angin lalu.

 

Saya ingin berbagi cerita sedikit tentang pengelolaan sampah di Jepang. Di Jepang, tingkat pengelolaan sampah termasuk cukup maju di dunia. Sampah di Jepang dipilah sesuai dengan jenisnya dan dikelola dengan baik. Sampah botol kaca, botol plastik, kertas, dan sampah rumah tangga dibeda-bedakan. Sebagian didaur ulang. Kecanggihan teknologi Jepang telah memungkinkan negara ini membuat baju dan kain dari serat plastik yang berasal dari pet bottle atau botol plastik minuman ringan.

 

Sementara, sebagian besar sampah organik—khususnya yang datang darihotel-hotel maupun di departemen store—dijadikan kompos atau pupuk organik. Bus kota yang dioperasikan oleh kota metropolitan Tokyo (Toei Bus) telah berani mengklaim merupakan bus kota ramah lingkungan. Misalnya, bahan-bahan yang digunakan untuk tempat duduknya merupakan produk daur ulang. Pada saatberhenti di lampu merah, sopirnya pun tidak segan-segan mematikan mesinnya dengan alasan untuk menghemat bahan bakar dan juga mengurangi polusi. Hebat, bukan?

 

Secara ekonomi, bangsa dan masyarakat Jepang termasuk bangsa yang maju. Ekonomi negara itu secara hitungan statistik nomor dua setelah Amerika Serikat. Secara umum kota-kota di Jepang, baik besar maupun kecil, terjaga kebersihannya, rapi, sistematik, dan teratur. Menurut saya, meski negara ini secara ekonomis telah berhasil, namun salah satu kunci penting dari kebersihan dan kerapian publik di kota-kota di negara itu adalah karena kesadaran masyarakatnya. Mereka sadar, bahwa kebersihan kota adalah tanggung jawab individu, bersama-sama, alias komunitas.

 

Ketika tong sampah dan tempat sampah umum dikurangi dengan alasan untuk mengurangi bahaya kemungkinan teroris memasukkan bomnya, masyarakat Jepang pun tak segan-segan memasukkan sampahnya di tas. Baru kemudian dibuang di tong sampah yang dapat ditemukannya. Bahkan, tak jarang setelahsampai di rumah baru dibuang. Tetapi, ada anggapan yang salah juga kalau di seluruh Jepang merupakan kota yang bebas sampah 100 persen. Sampah dan tukang sampah juga masih ada di Jepang. Hanya saja, tanggung jawab masyarakat dan individu lebih mementingkan peran penting dalam komunitasnya sehingga ruang publik sangat rapi dan enak dipandang mata.

 

Di Tokyo, selain dilakukan pemilahan sampah, daur ulang, juga terdapat jadwal pembuangannya. Misalnya, Senin untuk sampah yang dapat dibakar atau sampah rumah tangga (moeru gomi), Selasa untuk benda-benda plastik, Rabu untuk botol kaca, dan seterusnya.

 

Kebiasaan orang Indonesia yang tidak sistematik dalam tata cara pembuangan sampah—seperti saya misalnya yang tengah studi di Jepang—kadang membuat urusan tersebut menjadi ribet. Tetapi, saya punya satu taktik membuang sampah (kalau tidak mengikuti jadwal), yaitu dengan membuang sampah di toko-toko kombini (convinience store) terdekat. Toko-toko semacam ini bagaikan warung serba ada di Indonesia, yang buka selama 24 jam dan menyediakan servis segala rupa, mulai dari pembayaran tagihan, pengiriman barang, pembayaran tiket segala rupa, sampai dengan ATM (di Jepang tidak semua ATM 24 jam). Bangsa Jepang moderen menuntut kehidupan serba praktis. Demikian pula servis sampahnya, 24 jam.

 

Meski praktis untuk hal-hal tertentu, tata cara pembuangan sampah di Jepang ternyata menjadi sangat tidak praktis untuk pembuangan benda-benda tertentu. Ketika orang hendak pindah rumah dan perlu membuang benda-benda besar semacam furniture, ternyata kita perlu mengontak perusahaan sampah untuk mengambil benda-benda besar, atau kalau tidak kita bisa kena denda. Membuang sepeda yang tidak pada tempat semestinya, kita bisa ditelepon polisi.

 

Susahnya di negara maju, orang miskin yang perlu diberi bantuan sedikit jumlahnya. Beda di Indonesia, mungkin masih banyak kita temui saudara yang miskis di antara kerabat atau tetangga di lingkungan kita. Benda-benda bekas layak pakai masih bisa diberikan kepada orang yang berhak mendapatkannya. Nah, kali ini kita mungkin sedikit bisa lega tinggal di Indonesia. Karena sebenarnya barang-barang yang tidak kita perlukan bisa kita ulurkan bagi orang-orang yang membutuhkan tanpa kesulitan seperti di Jepang.

 

Sumber : https://sekotengmateng.blogspot.com/2012/01/pengolahan-sampah-indonesia-vs-jepang.html

Related Posts

Font
Senin, 17 Juni 2019
Font
18 03 2014 13:15:37

Komentar